Sabtu, 14 Mei 2011

Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. KARTOSUWIRYO


Gerakan Darul Islam selama ini dicap sebagai musuh bangsa paling berbahaya. Buku ini berupaya meluruskannya. Dalam sejarah politik nasional, nama S.M. Kartosuwiryo diguratkan dengan tinta agak gelap. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar kelam yang ada kalanya bernuansa mistis. Buku-buku sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang “bermimpi’ mendirikan negara baru. Hal ini berlangsung hingga sekarang. Buku ini menyodorkan sisi lain soal Kartosuwiryo. Di situ dikatakan bahwa Kartosuwiryo bukanlah tokoh yang garang atau misterius. Ia lahir dari keluarga yang jelas. Begitu juga pendidikan formal, profesi, dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh nasional seperti Abikusno, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto, dan bahkan Soekarno.Gambaran kelam soal Kartosuwiryo, menurut penulis buku ini, muncul dari situasi yang disemaikan pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang berpaham komunis merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia (NII).Konspirasi Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan “waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”, juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat kepada konsep negara Kartosuwiryo. Untuk memenuhi syarat sebagai “waliyyul amri”, Bung Karno mendirikan masjid Baiturrahim di Istana Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan sebagai simbol semata agar rakyat menilainya sebagai pemimpin yang taat menjalankan ajaran-ajaran Islam (hlm. 115).
Sikap permusuhan terhadap Islamisme seperti itu terus berkembang dan meluas, tidak saja di kalangan sipil tapi juga di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada masa Orde Baru (orde militerisme), Islamisme agaknya dipandang lebih berbahaya daripada sekularisme, komunisme atau misionaris Kristen dan Yahudi. Bahkan Seminar TNI Angkatan Darat (Agustus 1966) di Bandung malah bersikap antipati, menganggap gerakan Darul Islam (DI) atau NII sebagai musuh bangsa nomor satu, baru menyusul PKI.
Buku ini tidak saja mengungkapkan riwayat singkat S.M. Kartosuwiryo, tetapi juga garis perjuangannya, dan dinamika internal yang muncul di dalam proses mensosialisasikan dasar-dasar perjuangannya. Keberpihakan buku ini kepada kebenaran sejarah tampak cukup kental dan jelas. Itu selain karena penulisnya merupakan salah seorang aktivis angkatan muda DI, juga karena dalam penulisan buku ini para aktivis DI yang masih hidup dijadikan narasumber.
Meski tidak diniatkan untuk merevisi sejarah, setidak-tidaknya melalui berbagai fakta yang mencengangkan, buku ini telah bersikap kritis terhadap tonggak sejarah pergerakan nasional Indonesia. Kemapanan “fakta” sejarah sebagaimana diungkapkan buku sekolahan dengan entengnya digugat. Misalnya, dikatakan bahwa Budi Utomo (BU) bukan partai politik pertama, tapi Syarikat Islam (SI pertama kali bernama Syarikat Dagang Islam) yang lahir pada 1905.
BU juga bukan partai rakyat yang menentang penjajah Belanda, melainkan golongan kaum priyayi yang menjadi anak mas dan bekerja sama dengan Belanda. Anggota BU tidak ada yang masuk penjara, dibuang ke Digul, atau yang ditembak mati oleh Belanda. Sementara tokoh-tokoh SI berdesak-desak masuk penjara yang sempit, ditembak mati atau dibuang ke Digul (Irian Barat). BU bukan bersifat nasional, tapi regional dan anggotanya terbatas pada suku bangsa tertentu saja Jawa dan Madura (hlm: 133).
Bagaimana dengan sosok dan kepribadian Kartosuwiryo sendiri? Penulis buku ini mencatat bahwa postur tubuh Kartosuwiryo sedang, rambutnya ikal, dan bicaranya pelan tapi jelas. Tidak banyak bicara. Apabila berjalan menundukkan kepala, tenang tanpa gaya (hlm. 24). Kartosuwiryo juga digambarkan sebagai tokoh yang tak haus kekuasaan. Buktinya, pada pembentukan Kabinet Amir Syarifuddin pada 13 Juli 1947, dia pernah ditawari jabatan wakil menteri pertahanan oleh pemerintah RI. Namun itu ditolaknya, malah ia lebih memilih melanjutkan perjuangan mengenyahkan Belanda dengan bergerilya di hutan-hutan (hlm. 55).
Sikap istiqamah yang ditunjukkan Kartosuwiryo terhadap cita-cita perjuangan yang telah digariskannya patut diteladani oleh siapa saja (para aktivis) yang menyebut dirinya sebagai orang pergerakan, apa pun ideologinya. Dan mereka bisa menarik manfaat setelah membaca buku ini, dengan terlebih dahulu mengenyampingkan naluri sektarian yang ada pada dirinya.


Resensi Buku SM Kartosuwiryo
Sumber: Majalah PANJI MASYARAKAT, 29 September 1999, hal. 88.
Judul buku: Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. KARTOSUWIRYO, oleh Irfan S.
Trilogi Kepemimpinan Islam, oleh Irfan S. Awwas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar